Terjebak hujan tadi sore di dalam angkutan kota, memang
menyenangkan jika kita mau sedikit saja membuka ruang atas sebuah
pemahaman. Sebuah payung basah yang dipegang seorang ibu di depanku,
menyatakan dengan gamblang bahwa 'aku' tercipta bukan tanpa satu proses
yang 'mendewasakanku'. Bukan tanpa alasan yang tak berkaitrajut satu
sama lain.
Dihantar sebuah alasan kebutuhan manusia--yang jelas-jelas merupakan
ilmu sosial, fisika-kimia-biologi-matematika rela bercampurpadu dalam
proses pengerjaan 'aku' yang hanya sekadar payung. Mengenai 'sendi' yang
dipelajari dalam bidang biologi, aneka 'gaya' yang bermuatan fisika,
macam campuran bahan agar sesuai porsi 'kadar' kimia, bahkan perhitungan
yang tepat antara jarak yang harus diambil di setiap sisi kain, sendi
steinless, dan tongkat pegangan berisikan ilmu matematika.
Semua proses pembuatan 'aku' tertuju pada satu 'goal'. Yaitu
pemenuhan kebutuhan manusia yang nantinya akan berkaitan bukan hanya
dengan ilmu ekonomi--laju permintaan-penawaran, laba-rugi, dll. Namun
juga ilmu agama mengenai betapa pentingnya hablumminannaas ditegakkan
dalam keseharian kita sebagai individu yang tak mampu hidup tanpa
bantuan individu yang lain.
Ternyata, payung bukan hanya tentang fungsi saja, namun juga ikatan
persaudaraan. Betapa pembuat, dan penjual--bahkan tukang ojek payung
telah memuliakan kita dengan keberadaan benda tersebut. Betapa mereka
telah memuliakan kita sesama makhluk Tuhan dalam pemenuhan kebutuhan
yang tampak sederhana tersebut. Dalam hal ini, ilmu eksak dan ilmu
sosial sama pentingnya dalam merangkai hubungan bernama hablumminannaas
yang telah diatur oleh Tuhan dalam Al-Qur'an. Kalau meminjam istilah
iklan, 'alami dan ilmiah' keduanya bersatu, bukan begitu?
Sekadar payung pelindung hujan, lagi-lagi, sebuah kesederhanaan yang tak sederhana.
Bogor, 12 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar