home sweet home

Selasa, 10 Desember 2013

Ketika terbiasa bukan berarti tidak sakit

*Ketika terbiasa, bukan berarti tidak sakit

Orang2 yang melatih dirinya menerima pukulan keras di perut, setiap hari dilatih, dilatih, dilatih, maka setelah bertahun2 berlalu, perutnya ternyata bisa menerima pukulan mematikan sekalipun dan dia tetap baik2 saja. Segar bugar. 

Tapi apakah kita bisa menghilangkan fakta: Karena dia sudah terbiasa, maka kita bisa bilang hal itu biasa2 saja baginya? Tidak. Pukulan itu tetap mematikan, menyakitkan. 

Orang2 yang berlatih bersabar, setiap hari dia harus pergi 10 kilometer mengambil air, karena susahnya air bersih di sana, dengan membawa ember di atas kepala. Berjalan tiap pagi, bolak-balik. Bertahun2 berlalu, dia amat terbiasa dgn pekerjaan berat itu. Baik2 saja.

Tapi apakah kita bisa menghilangkan fakta: Karena dia sudah terbiasa, maka kita bisa bilang hal itu biasa2 saja baginya? Tidak. Perjalanan 10 km setiap hari itu tetap melelahkan.

Orang2 yang 'berlatih' makan sekali hanya sehari. Hei, banyak loh orang2 yg hanya makan sekali sehari di kampung2. Bukan karena mereka mau sok hebat bisa begitu, tapi karena memang tidak mampu, jadilah hanya makan sekali sehari. Bertahun2 berlalu, dan dia baik-baik saja. Sehat.

Tapi apakah kita bisa menghilangkan fakta: Karena dia sudah terbiasa, maka kita bisa bilang hal itu biasa2 saja baginya? Tidak. Makan sehari sekali itu tetap kondisi yang menyedihkan.

Manusia adalah mahkluk dengan kemampuan menakjubkan. Mereka beradaptasi begitu baik dengan kondisi apapun. Dalam situasi perang, susah makan, seorang Ibu yang janda bisa terus bertahan menghidupi lima anak2nya. Dalam situasi bencana, kekeringan, kelaparan, seorang Ayah juga tetap bisa bertahan mencari jalan keluar demi keluarganya.

Akan tetapi, ketika seseorang sudah terbiasa atas hal tersebut, maka bukan berarti hal tersebut tidak menyakitkan lagi. Tetap sakit. Tetap berat. Tetap susah hati. Tapi dia telah melampui batas-batasnya. 

Ketika kita sudah terbiasa atas sesuatu, maka bukan berarti hilang hakikat sesuatu tersebut. Kita-lah yang tumbuh lebih tegar. Lebih gagah. Karena jelas, kehidupan ini harus dilewati dengan tegak. Bukan merangkak.

*Tere Liye

Tidak ada komentar: