home sweet home

Kamis, 04 Juni 2009

The kite runner

UNTUKMU, KESERIBU KALINYA:

Mengejar Layang-Layang Penebus Dosa di THE KITE RUNNER

Sinopsis

Aku memiliki satu kesempatan terakhir untuk mengambil keputusan,
untuk menentukan apa jadinya diriku. Aku bisa melangkah memasuki gang itu,
membela Hassan dan menerima apa pun yang mungkin menimpaku. Atau aku bisa melarikan diri.
Akhirnya, aku melarikan diri.

Amir telah mengkhianati Hassan, satu-satunya sahabatnya. Saudaranya. Rasa bersalah menghantuinya. Menyingkirkan Hassan dari kehidupannya adalah satu-satunya pilihan yang ada. Namun setelah Hassan pergi, tak ada lagi yang tersisa dari masa kecilnya. Seperti layang-layang putus, sebagian dari dirinya terbang bersama angin. Tetapi, masa lalu yang telah terkubur dalam-dalam pun senantiasa menyeruak kembali. Hadir membawa luka-luka lama. Dan seperti layang-layang, tak kuasa menahan badai, Amir harus menghadapi kenangannya yang mewujud kembali.

The Kite Runner adalah sebuah kisah penuh kekuatan tentang persaudaraan, kasih sayang, pengkhianatan, dan penderitaan. Khaled Hosseini dengan brilian menghadirkan sisi-sisi lain dari Afghanistan, negeri indah yang hingga kini masih menyimpan duka. Tetapi, bahkan kepedihan selalu menyimpan kebahagiaan. Di tengah belantara puing di kota Kabul, akankah Amir menemukannya?

Data Buku

Judul buku : The Kite Runner

Penulis : Khaled Hosseini

Penerjemah : Berliani M. Nugrahani

Penyunting : Pangestuningsih

Penerbit : Qanita

Tahun terbit : 2006 (cetakan II, April)

Tebal buku : xiv + 168 halaman; 17,5 cm

Petuah “Lebih baik terlambat, daripada tidak sama sekali” rasanya pas diterapkan untuk buku ini, karena aku baru membacanya sekarang sejak diterbitkan 2 tahun yang lalu... sementara dalam bahasa grup musik Netral, kesan yang aku rasakan setelah membaca novel ini dapat digambarkan dengan lagu Terbang Tenggelam dan Haru Biru.

The Kite Runner merupakan novel pertama Khaled Hosseini, sekaligus juga novel Afghan pertama yang diterbitkan dalam bahasa Inggris. Dengan latar Afghanistan sebelum diinvasi oleh Rusia pada tahun 1979, hingga berakhirnya kekuasaan rezim Taliban, kisah ini dituturkan dari sudut pandang orang pertama dengan gaya memoar yang amat kuat dan emosional.

Semua orang memiliki rahasia yang ingin mereka simpan, hanya untuk diri mereka sendiri (Yang Maha Tahu sudah pasti lah mengetahuinya, namanya juga... Yang Maha Tahu). Semua orang juga memiliki dosa yang mereka sadari, dan secara naluriah ingin mereka tebus. Pertanyaannya, apa yang akan Anda (kita) lakukan jika mendapatkan sebuah kesempatan untuk menebus dosa yang tak terlupakan, dan senantiasa menghantui kita seumur hidup?

Sepanjang hidupnya, sang tokoh utama Amir selalu dihantui oleh rasa bersalahnya terhadap apa yang ia perbuat – atau lebih tepatnya, apa yang tidak ia perbuat – kepada teman baiknya, Hassan. Tetap tersiksa oleh perasaan bersalah setelah 15 tahun terpaksa meninggalkan Afghanistan dan mengungsi ke Amerika Serikat, tersiksa oleh perasaan bersalah, akhirnya Amir kembali ke tempat ia dilahirkan dan tumbuh besar bersama Hassan... dengan harapan bisa menebus perasaan bersalahnya tersebut, sebuah kesempatan untuk memperbaiki diri. Ada jalan kembali untuk menuju kebaikan.

Tidak seperti novel yang satu itu, karakter Amir bukan jagoan suci. Ia memiliki sisi-sisi gelap, namun manusiawi dalam sebuah perjalanan abadi menuju kedewasaan. Kejujuran dan pergolakan batin ini membuat Amir lebih bisa kita identifikasi secara nyata, tanpa simpati berlebihan ataupun kebencian berkepanjangan. Apa adanya.

Di sisi lain, karakter Hassan yang ‘lurus’ memberikan ketidaknyamanan tersendiri bagi kita yang ‘apa adanya’ ini. Namun alih-alih menjadi klise, apalagi menjadi rebutan setiap tokoh wanita yang ada di novel ini, naifnya kemurnian ini dihempaskan oleh sang pengarang dengan perubahan politik dan benturan budaya yang terjadi. Salut kepada Hosseini yang mampu dengan natural menyuguhkan elemen-elemen sejarah, drama kemanusiaan, kehormatan, penebusan dosa, dan pencarian martabat dalam sebuah panggung sosial politik yang terus berubah cepat.

Novel yang sangat emosional ini diceritakan dengan kalimat-kalimat yang kuat. Setiap karakter memiliki perannya masing-masing, sementara tema-tema universal dalam kehidupan seperti cinta, kehormatan, pengkhianatan, ketakutan, pengabdian, dan penebusan dosa dituturkan apa adanya, dan berhasil menghindari jebakan-jebakan untuk menjadi basi, klise, cengeng, dan pasaran. Jangan lewatkan pula berbagai peristiwa tak terduga yang akan membuat kita penasaran hingga akhir cerita.

Tak hanya menghibur, novel ini juga memberikan pengetahuan bagi pembacanya tentang konflik politik yang terjadi di Afghanistan, terutama mengenai perbedaan kasta antara kaum Sunni dan Syi'ah. Kekejaman kaum Taliban diceritakan dengan brutal, sadis, bengis, dan keji. Betapa sengsaranya rakyat Afghan dan porak porandanya infrastruktur kota-kota di Kabul mengingatkan penulis pada carut marutnya ibu pertiwi yang tak pernah benar-benar merdeka (hanya berganti penjajah dari bangsa asing ke bangsa sendiri). Satu hal yang benar-benar baru bagi penulis adalah potret kehidupan komunitas mayarakat Afghan-Amerika. Para imigran yang memiliki perkampungan tersendiri ini harus memulai hidupnya dari nol dan melupakan status dan kehidupan mewah mereka di negara asalnya agar bisa bertahan hidup.

Rasanya tak berlebihan jika novel ini menjadi buku terlaris sepanjang tahun 2005 versi Publisher's Weekly dan menduduki tangga atas best-seller selama lebih dari 50 minggu. Tentu saja setelah terlebih dahulu ini diganjar sebagai buku terbaik tahun 2004 versi San Francisco Chronicles.

Salut kepada tim Qanita yang telah membidani edisi terjemahan Bahasa Indonesia ini. Selisih beberapa milimeter antara ukuran sampul dalam dan sampul luar menjadi termaafkan, karena tidak (terlalu) mengganggu saat sang novel diberi sampul plastik.

Seperti buku Madogiwa No Totto - Chan, maha karya Tetsuko Kuroyanagi, novel The Kite Runner karya Khaled Hosseini memberikan kesan personal bagi saya. Rasanya akan menjadi salah satu dari sedikit novel yang akan saya ingat seumur hidup. Dan mungkin, lagi-lagi seperti Madogiwa No Totto – Chan, bisa jadi akan saya baca lagi, lagi, lagi, dan lagi...

Untukmu, keseribu kalinya..

Tidak ada komentar: